Eyang Uti

Senin, 11 Mei 2015

Bagikan :
Aku masih mengingatnya ketika beliau mulai menyisiri rambut-rambut keriting tebalku. Beliau dengan lembutnya menyuruhku duduk di depan meja rias. Aku menurut, sambil memperhatikan setiap langkah jari lentikknya. Beliau menurunkan tanggannya yang telah keriput mengambil sisir hitam bergigi jarang. Kemarin, aku bersentuhan dengan tangan keriputnya, aku bisa merasakan betapa lembut dan lemahnya beliau sekarang, namun juga menegaskan betapa keras dan mandiri beliau saat muda dulu. Gelambir keriputnya tidak menyurutkan kekagumanku untuk beliau. Garis-garis tua itu menjadi garis kasih sayang, tak ada satu titik kejelekkan apapun. Beliau menyisiriku dengan sabar, padahal rambut keritingku begitu susah di atur. Aku hanya berharap, kepribadiannku tak sama dengan jenis rambutku yang susah di atur. Bagaimanapun, aku ingin kepalaku keras namun tidak keras kepala.

Berapa lama aku tertidur? atau berapa lama beliau yang tertidur? Aku yakin beliau telah tidur di Surga.

“kepangan kamu bagus, Ai” kata temanku, Icha sambil menunjuk kepang dua yang agak ke atas kepalaku.
“iya, ini eyang uti yang ngepang, hehe” jawabku dengan bangga.
Hampir setiap hari, rambut keritingku tidak terkuncir hanya oleh satu utas karet warna-warni. Selalu ada lebih dari satu karet warna-warni yang mengikat lembut dirambut-rambutku. Ikat dua, ikat kuda, ikat kepang dua, empat, bahkan kepang kecil-kecil di sana sini.
Setiap hari, aku juga melihat beliau begitu menyayangi rambut-rambutnya sekalipun warnanya telah berubah menjadi putih. Putih yang ajaib. Bagaimana ceritanya ketika usia bertambah rambut ikut berubah warna? Begitu banyak keajaiban yang terjadi seiring bertambahnya usia. Namun aku tidak begitu yakin, usia yang mampu mengrogoti tubuh ini hingga kemudian manusia ataupun makhluk hidup meninggal. Berapa banyak manusia yang meninggal saat mereka belum menjadi dewasa dan bahkan belum tua. Aku tak pernah bertanya pada beliau, apakah beliau takut apa tidak termakan oleh usia? Namun dari mata beliau aku sudah mendapat jawaban bahwa beliau tidak takut apapun kecuali Pemilik-NYA. Pemilik-NYA lah yang begitu diagungkan hingga meninggalnya suami tercintanya yaitu yangkungku bisa di terima dengan tabah dan tidak memperpanjang kesedihan. Tak ada tangis yang begitu sangat berlebihan dalam hidupnya sekalipun kesedihan itu tetap ada.
Aku bilang, beliau hanya benci dengan tikus, bukan takut! Beliau memiliki beberapa alasan yang sangat masuk di akal kanak-kanakku mengapa beliau membenci tikus. Seluruh dunia tahu bahwa makhluk gesit ini merupakan makhluk penyebar kuman dan penyakit nomor wahid. Jadi tidak heran kalau Beliau membencinya. Jangan bilang beliau tidak sayang binatang, beliau hanya ingin menyelamatkan kesehatan dirinya beserta orang-orang di dalam rumahnya. Mulia bukan? Itulah eyang utiku, tidak ada yang menandingi kecantikkannya melebihi dia dan putrinya yang secara takdir menjadi sumber ASIku.

Hari itu, semua keluargaku sedang berkumpul di rumah sakit. Namun saat itu aku dan kakakku sudah menginjak di tanah kelahiran Ayahku yang berjarak mil-mil dari rumah eyang utiku. Sudah sekitar dua minggu beliau terkulai di rumah sakit. Selama itu, aku sibuk dengan beradaptasi dengan teman-teman baruku di tanah hitam gelap ini. Aku mengunjungi tanah ini tanpa sentuhan tangan ibuku yang selama hidupku memelukku. Hanya ditemani, dua lelaki, satu berbeda usia dua tahun dan satu lagi lelaki dewasa yang membuat bagian hidupku. Di sekolah baru, banyak kehilangan yang aku bawa, sekalipun sementara. Namun cukup mampu merubah kebiasaan berceritaku pada teman-teman. Tak ada lagi kunciran, tak ada lagi kepangan, ini berarti tiada warna.
Jarak jauh begitu membuat aku dan kakakku tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya cukup membayangkan sedang apa dan apakah sakit yang dirasakan eyang utiku saat ini. Tugas dari sekolah tidak menumpuk namun cukup membuatku lelah untuk beradaptasi di tanah ini, entah mengapa. Selalu menangis, ketika suara ibu menelpon. Selalu menebak dan terniang, ketika ibu menelpon bapak menceritakan kondisi eyang uti di rumah sakit. Saat itu aku menjadi peramal kanak-kanak yang tak pernah mendapat gambaran apapun tentang bayanganku, sekalipun mimpi.
Aku menyesali betapa miskinnya keluargaku hingga tidak mampu membeli karcis kapal untuk sekedar berkunjung ke rumahnya, rumah Eyang utiku.

Beliau mulai memakan biskuit coklat, seperti cookies. Beliau begitu menyukai kue-kue kering manis dengan limpahan rasa telur dan mentega. Itu membuat rasa dan aroma yang khas. Beliau juga suka membuat jajanan tradisional yang menurutku termasuk repot untuk membuatnya. Jajanan itu serabi, mungkin beliau juga mencintai bagaimana kelapa menjadi cairan putih yang gurih kemudian di lebur bersama gula merahnya yang manis legit, tanpa pahit. Bagaimana mungkin gula merah dari kelapa itu berubah bentuk dan berbeda dengan santan? begitu banyak celotehan yang aku Tanya pada beliau tapi hingga saat ini yang ku ingat hanya beberapa. Beliau menyukai pengocokkan tepung beras itu yang lama-lama membentuk gelembung-gelembung kecil dengan makna siap di masak. Panci yang digunakan juga berbeda dengan panci pengorengan biasanya. Pancinya berlubang-lubang sebagai tempat serabi yang siap dimatangkan. Bau pandan juga ikut menyemarakkan suasana coklatnya santan dan gula merah.

Tetap tak ada mimpi, tak ada kuncir, tak ada kepang. Bapakku bukan lelaki yang mengerti bagaimana rambut dengan rambut bisa dililitkan menjadi satu hingga mempercantik wajah kanak-kanak yang polos ini. Sehambar itu sekolahku. Teman-temanku ku bilang aneh semua, menurut cara pandangku terjadi kesalahan dalam tanah ini. Namun ini hanya cara pandangku, aku rasa cara pandangku salah, buktinya aku melihat begitu banyak anak-anak yang tertawa bersamaan, betapa mereka melempar batu-batu kecil itu kemudian melompatinya mengikuti kolom-kolom yang telah di lukis di tanah, dan bagaimana mereka berlarian menganggap mereka kucing dan anjing yang saling bertengkar namun tertawa terkekeh-kekeh ketika salah satu mengejar begitu geram.
Hari itu telah datang, ibuku memelukku lama dan tidak kalah lama memeluk kakakku. Ibu yang tidak berubah bentuk sekalipun rambutnya. Aromanya tetap memancar semerbak semua campuran parfum yang dulu hingga kini pernah kurasakan. Tak tertandingi. Namun garisnya berubah, garis-garis diwajahnya sedikit lebih banyak di banding terakhir berjumpa di rumah Ibunya. Garis itu seakan mempertegas bahwa dirinya sedang sedih. Garis itu yang menerangkan kepada aku dan kakakku bahwa mimpi-mimpi yang kuharapkan datang, sekedar memberi kabar bagaimana keadaaan eyang utiku, pelan-pelan mejadi hitam, pekat. Bibir-bibirnya pelan berujar bahwa eyang uti telah meninggal, telah tiada.
Sebenarnya aku telah mendengar hal itu sekitar satu minggu yang lalu dari bibir bapakku. Namun sangat berbeda ketika bibir itu berubah menjadi bibir perempuan, bibir yang menyerupai bibir eyang utiku. Bibir ini lebih berbicara bahkan hanya lewat garisnya. Saat gelombang bunyi bahkan tidak dapat terpantul oleh dinding-dinding ini, aku mampu merasakan betapa sedihnya kami semua, ditinggalkan.
Aku bahagia sekali ibuku datang memelukku lagi. Ketika bangun tidur, aku baru sadar, TIDAK ADA EYANG UTI lagi. Aku terhempas oleh jarak yang jauh, tapi begitu dekat ketika beliau meninggalkanku.
Kembali, aku menyesali diriku yang begitu miskin, menyesali diriku yang tidak mempunyai kehebatan super seperti ksatria-ksatria zaman dulu yang mampu terbang, atau pahlawan modern dengan baju ketatnya yang mempunyai kendaraan-kendaraan canggih hingga milidetik diperhitungkan.
Aku belum melihat bagaimana beliau tersenyum di hari akhirnya, atau menetaskan airmatapun tak apa. aku belum lagi menyentuh kuliltnya yang bergelambir. Aku belum lagi meraba rambutnya yang tetap di urai panjang dengan warna putih dimana-mana. Aku belum melihat bagaimana beliau dimandikan untuk yang terakhir. Bagaimana semerbak harumnya tubuhnya dengan air kembang yang biasanya setiap hari di hari raya beliau mengajarkan kepada kami untuk mandi air bunga. Aku belum melihat pantaskah putih kafannya dengan tubuhnya yang mungil mempesona. Aku belum melihat sunggingan senyumnya menghadap Pemilik-NYA yang begitu beliau cintai. Aku belum melihat layakkah tempat rumah abadinya. Aku belum melihat teduhkah beliau hidup di sana.
Aku mencintainya, sama halnya beliau begitu mencintai Pemilik-NYA. Dari situ aku yakin, eyang utiku dengan senyum yang mengambang bertemu dengan-NYA di rumah Keabadian-NYA. Aku yakin beliau tetap putih berseri dengan kafannya, tetap harum dengan aroma bunga kambojanya, dan tetap manis dengan kecintaannya pada-NYA.
Seketika aku sadar, aku melirik rambutku, tetap tak terkuncir atau terkepang.

Siti Sarintil
Ping!